Keris Mustika Nagasosro dan Pria Pemanggil Hujan Emas (Part 1)

Sebuah bukit yang dianggap sebagai tempat keberadaan hujan emas. Tempat ini merupakan tempat yang jarang sekali disadari oleh banyak orang sebagai tempat yang penting, karena tempat ini dianggap sebagai tempat yang biasa.

“Saya sudah menemukan orang yang mempunyai keris mustika nagasosro. Dia tidak jauh dari kota ini.” Kata Cengkong yang merusak suasana santai beberapa kawannya di gubuk warung kopi.

“Dimana, minta berapa harga orangnya?” Ipung mendesak untuk mengetahui keberadaan keris itu.

Bacaan Lainnya

“Sulit, orang yang mempunyai keris itu tidak sekalipun membutuhkan uang. Dia cukup mandiri dan konsisten dalam godaan ekonomi.”

Ipung tersenyum mendengar jawaban Cengkong. Pikiran kotornya mulai bermain. “Aku tahu orang seperti itu, dan aku tahu kelemahannya.”

“Tapi kau harus tahu juga kabar baru yang barusan aku terima”. Ipung meningkatkan posisi duduk silahnya yang menunjukkan dirinya terlihat percaya diri.

“Apa itu?” Cengkong dan Hasyim menyahut bersamaan.

“Kalian pasti suka dengan informasi ini.”

“Ayo, katakan saja, jangan banyak berbelit.” Hasyim mulai kesal.

“Hmm… baiklah. Kalian harus tahun jika aku sudah tahu keberadaan kiai yang bisa merontokkan emas dari langit yang banyak dibicarakan oleh orang itu.”

“Yang benar saja?” Hasyim terbelalak matanya.

“Kalian pasti tidak percaya. Orang itu ternyata bukanlah orang yang istimewa dipenampilan dan posisi pekerjaannya. Hidupnya cenderung biasa dan membaur dengan masyarakat desa kebanyakan. Tapi dia menyimpan sesuatu yang sangat besar dan memilih untuk terlihat biasa saja.” Jelas Ipung.

“Kau mendapatkan info dari mana?”

“Hmm, selalu saja kalian penasaran. Tentu saja aku tahu dari mata kepalaku sendiri, aku melihatnya secara langsung kiai itu mendatangkan emas dari awan.”

Hasyim dan Cengkong mulai terganggu pikirannya, ingin segera menemui kiai yang dianggapnya bisa menolong dirinya itu.

Benjhol yang dari tadi mendengarkan mulai angkat bicara, “Sepertinya kita harus Menyusun rencana. Kita harus mendatangi pria pemiliki keris mustika nagasosro atau kiai pengendali hujan emas, karena keduanya sangat penting untuk kita datangi bersama-sama.”

“Benar, karena hanya cara inilah yang bisa menjadikan kita kaya dan mendapatkan harta yang tersembunyi itu. Kita tidak lagi dihina sebagai orang miskin yang tidak beranjak kaya.” Sahut Cengkong, meratapi dirinya yang banyak hutang dan merasa rendah diri dihadapan keluarga istrinya—karenanya pekerjaannya bermain slot dan nongkrong di warung kopi.   

“Baiklah, kalua begitu kita mendatangi siapa dulu ini, kiai pemanggil hujan emas atau pemilik keris mustika nagasosro?” celetuk Ipung.

Keempat pria pemalas itu merenung, meraba-raba langkah yang paling tepat untuk mereka lakukan dalam rangka membangun jalan cepat kaya.

“Aku kira mendatangi ke kiai pemanggil hujan emas itulah yang harus kita lakukan sekarang, karena dengan melakukan itu setidaknya kita bisa mendapatkan banyak emas untuk kita gunakan modal membeli kerisnya pemilik keris mustika nagasosro.” Hasyim memberikan sarannya, sambil menyeruput kopinya yang hampir habis.

“Cerdas juga usulmu Syim, itu benar-benar metode yang pas untuk kita lakukan.” Sanjung Cengkong. “Tinggal bagaimana Kang Ipung siap untuk segera dating ke rumah kiai tersebut.”

Ipung menghelah nafas panjang, pikirannya mulai mengalami sedikit keraguan. “Memang aku tahu sendiri jika emas itu turun dari atas langit saat kiai itu berdoa, emas turun secara berhamburan dalam bentuk batu-batu kerikil dari langit.”

“Lalu, apalagi yang kamu ragukan, sepertinya hatimu sedikit meragukan kebenaran dari penglihatan matamu sendiri?” Benjhol membuyarakan renungan Ipung.

“Itulah mas Benjhol, justru saya sendiri meragukan penglihatan saya.”

“Kenapa?” tanya Hasyim dan Cengkong bersamaan.

Ipung memutar matanya, menatap satu persatu kawan-kawannya yang membentuk duduk melingkar itu.

“Saat itu aku merasa berada di antara sadar dan tidak sadar. Diantara mimpi dalam tidur dan kenyataan saat terjaga. Aku kesulitan membedakan itu. Tapi aku sungguh-sungguh merasa bahwa kiai tersebut telah melakukan doa-doa, lalu kemudian emas turun berhamburan dari langit.”

Pernyataan Ipung justru membuat kebimbangan teman-temannya, sebagai orang yang jujur ucapan Ipung selalu menjadi rujukan bagi teman-temannya, walaupun Ipung terlihat kurang begitu berhasil dalam mengumpulkan uang.

“Begini saja, apakah kamu sempat mengambil butiran kerikil emas yang turun dari langit itu?” tanya Benjhol. “Jika sampeyan punya, maka apa yang mas Ipung lihat itu benar adanya dan kita bisa mendatangi kiai tersebut untuk meminta tolong untuk mendatangkan emas kembali dari langit.”

Ipung berfikir agar lama, dagunya sedikit berubah arah, sedikit menyamping ke kiri. “Aku tidak mendapatkan emas itu, karena posisiku sangat jauh dari kiai itu saat melakukan doa-doanya. Selain itu, aku hanya melihat dari dalam kendaraan, saat melakukan perjalanan pulang dari Jombang setelah menghadiri acaranya Gus Qadam. Sehingga tidak memungkinkan aku untuk berhenti dan mendatangi emas yang berjatuhan di tempat kiai itu.”

“Tapi kau tahu persis tempatnya?” tanya Cengkong, setelah tahu Ipung menyebut sebuah tempat.

“Ya, tentu saja aku masih ingat Kang, itu berada di sebuah tempat yang tidak jauh dari desanya mantan pacarmu dulu.”

Cengkong menarik alisnya sedikit keatas, kaget dengan perkataan Ipung yang menyebutkan tempat tinggalnya mantan kekasihnya yang gagal dinikahinya karena dirinya kurang berani untuk menunjukkan manusia yang bertanggung jawab pada calon mertuanya.

“Kalau begitu, di tempat turunnya hujan emas itulah kita perlu mendatanginya. Karena bisa jadi di tempat itulah masih ada sisa-sisa kerikil emas yang tidak berhasil diambil oleh kiai yang mendoakan itu.” Tegas Cengkong.

“Kata-katamu benar juga kang, kita perlu mendatangi tempat itu dan mas Ipung harus berkenan untuk segera mengantarkan kita.” Sahut Hasyim.

“Baiklah kalau begitu, besok kita mendatangi tempat turunnya hujan emas itu dan jika perlu kita menambah orang untuk menunjang rencana kita.”

“Siapa yang sampeyan maksud mas?” tanya Hasyim pada Ipung.

“Hmm, kita sepertinya membutuhkan tenaganya Karmulin. Dia orang yang mudah diajak kemana-mana dan mudah pula dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan kita yang kita butuhkan nanti. Dia sangat ringan tangan.” Tegas Ipung.

Semuanya diam, pikirannya sedikit tergunjang dengan usulan Ipung, karena semuanya tahu siapa sesungguhnya Karmulin. Sosok manusia gagal dalam hidup yang sedang ditinggal oleh istrinya menjadi TKI. Kini hidupnya bagaikan gelandangan di warung kopi ke musholla, hanya untuk berharap mendapatkan ilham menjadi cepat kaya.

“Hai, dulur, ingat. Kita semuanya ini senasib dengan Karmulin. Apa tidak sebaiknya kita juga mengajaknya dalam kelompok perburuan harta ini.” Ipnung menjelaskan tampang teman-temannya yang meragukan usulannya.

“Aku tahu kau dekat sekali dengan Karmulin. Tapi apakah kamuy akin jika dia bisa lagi dipercaya?” tanya Benjhol. “Dia sudah banyak melakukan kecerobohan di tempat kerjanya dan banyak pula uang yang hilang ditangannya.”

“Iya, itu benar. Semua orang pasti akan menghadapi kesalahannya sendiri-sendiri. Tapi aku yakin dengan mengajak Karmulin yang ringan tangan itu kita bisa memanfaatkannya untuk hal-hal yang berat.” Bantah Ipung yang membela sahabatnya itu.

“Ingat Kang, dia sudah mengabaikan kepercayaannya Mr. Hakim lho, ketika dia dipercaya sebagai tenaga pembantunya dalam membangun usaha kosmetik istrinya Mr. Hakim. Dan itu merupakan catatan buruk bagi dia, lho Mas.” Terang Cengkong.

“Itu benar, tapi bagaimanapun dia kan teman sekolah kota dulu, dan kini dia sama-sama menghadapi kegagalan seperti halnya kita semua. Kita harus tumbuh bersama, ingat itu, kita perlu tumbuh bersama.” Ipung berusaha keras memberikan penjelasan yang lebih menyentuh hati.

Beberapa saat semua orang diam, merasa ada yang benar dengan apa yang disampaikan oleh Ipung. Sikap diam ini secara berlahan membentuk kelemahan hati temannya masing-masing.

“Baiklah mas, ajaklah sahabatmu itu. Yang penting kamu harus bertanggungjawab jika dia Kembali berpenyakit.” Kata Hasyim.

“Baiklah. Saya akan menghubungi Karmulin. Kalian besok siap pukul 07.00, lebih pagi lebih baik. Titik kumpul ada di warung kopi ini.” Tegas Ipung.

“Jelas itu, malam ini kita bubar dulu. Hemat energi untuk tidur lebih awal. Kita berangkat dengan menggunakan motornya sendiri-sendiri.” Benjhol memperkuat kesepakatan malam itu. Dan petualangan orang-orang gagal untuk menjadi kaya pun dimulai, dengan rencana yang siap dilakukan dengan gerak cepat dan berfikir cepat, mencari orang yang bisa mengdatangkan hujan emas.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *