KAJIAN PERDANA PASCA-TAWAJUH HASAN MA’SHUM PALANG; FOKUS PADA DZIKIR DAN RAHASIANYA DARI KITAB LUBAB AL-HADITS

Suasana Kajian pasca-tawajuh yang dilakukan oleh jamaah Hasan Ma'shum Palang pada awal Romadhan 1445 pada Jumat, 9 Maret 2024. Tampak Ahkmad Sifyani sedang membacakan kitab dan disimak oleh rekan-rekannya yang lain, termasuk Darmawan

Awal Romadhan 1445 H, menjadi momentum yang penting untuk melakukan perubahan dan membangun mental positif. Energi bulan suci merupakan sebuah kekuatan yang sangat besar dan dasyat, jika bisa dimaksimalkan dan bisa digunakan dengan konsentrasi yang total-focus.

Siapapun kita, apapun profesinya, jika mampu memanfaatkan momentum bulan suci sebagai proses perubahan menuju sesuatu yang baik dan berkelanjutan akan menuai hasil dan akan mendapatkan manfaatnya. Allah telah menjadikan alam semesta bergerak dan berotasi secara otomatis di bulan Romadhan untuk menyelaraskan segala hal yang positif dan mengandung nilai-nilai pembangunan, baik pembangunan mental, fisik, spiritual maupun supranatural.

Bacaan Lainnya

Kondisi itulah yang dimanfaatkan dengan baik oleh santri Hasan Ma’shum Palang, setelah tawajuh dan sholat tarawih mengadakan kajian kitab untuk merealisasikan “madrasah kilat”, ajang pengayaan pengetahuan, media memupuk wawasan, dan solusi mengurai kekosongan obrolan pasca-tawajuh.

Sifyani adalah santri pertama yang mendapatkan tugas membacakan materi dalam kitab pertama, yang langsung masuk pada materi “Fadhilah Berdzikir kepada Allah.” Hal itu dilakukan karena berdzikir adalah “senjata utama” bagi para santri tasawuf, pegangan hidup yang bisa menyelamatkan, dan kunci untuk membuka rahasia alam semesta. “Bab berdzikir sangatlah utama dikalangan santri tasawuf, karena tanpa adanya dzikir setiap muslim tidak akan bisa mendirikan sholat, karena sholat tanpa dzikir ibarat seorang pelaut yang tersesat di tengah Samudra”. Jelas Sifyani, Sarjana yang tekun menulis sastra santri pesisir.

Materi-materi dalam kajian perdana tersebut cukup menarik, meliputi berbagai pengetahuan yang relevan dengan kondisi para pengamal tarekat naqsabandiyah.     

Pertama, Berdzikir kepada Allah adalah bendera (kaum) beriman, terbebasnya dari (sifat) kemunafikan, menjadi benteng dari (godaan) setan, dan menjadi penjaga dari (sengatan) api neraka.

Tentunya dengan berdzikir setiap muslim akan mendapatkan posisinya sebagai orang yang “beriman”, yang membedakan dirinya dengan “orang munafik”. Karena orang munafik adalah orang yang enggan untuk berdzikir dan tidak mempunyai wawasan untuk menyaksikan Allah dalam kehidupannya, sedangkan orang yang beriman adalah orang yang berdzikir yang belajar untuk bertemu dengan Allah melalui Guru-nya.

Berdzikir tentunya pula bisa menjadi benteng diri dari godaan (maksiat) setan. Orang yang ahli dzikir akan lebih mudah menahan diri dari maksiat dibandingkan dengan orang muslim lainnya. Sehingga tidak mengherankan pula jika orang yang berdzikir tentunya akan terlindungi dirinya dari sengatan api neraka. Karena orang yang berdzikir kelak di neraka tidak akan merasakan panasnya api neraka, yang artinya antara neraka dan surga adalah kondisinya sama.

Kedua, Berdzikir yang paling utama adalah dzikir khafi (dzikir dalam hati).

Yang menegaskan bahwa berdzikir dengan bibir suara keras nilainya (potensi dan energinya) berada di bawah level dzikir dalam hati. Berdzikir dalam hati yang dilakukan oleh santri Hasan Ma’shum merupakan kunci untuk membuka pengetahuan alam yang tersembunyi.

Ketiga, Seberat-beratnya amalan ada tiga, yaitu Dzikir kepada Allah pada setiap keadaan, menyenangkan saudara dengan harta, dan melayani orang yang lebih fakir dari diri sendiri.

Kelak di akhir zaman nanti, ketika manusia menghadapi persidangan akhirat akan mempertaruhkan berbagai amalan dan tindakannya yang pernah dilakukan di dunia. Tiga hal yang bisa memberatkan amal, yang mampu memberikan pertolongan manusia dalam persidangan akhirat adalah berdzikir dalam setiap keadaan, welas asih pada saudara sesama manusia, dan memberikan pelayanan-bantuan-pertolongan kepada orang yang lebih fakir dari dirinya sendiri.

Berdzikir, adalah kopmponen yang pertama “yang paling bisa” memberikan justifikasi pertolongan kepada manusia, untuk mempertanggungjawabkan amalannya kelak dihadapan Allah. Hal itu dikarenakan orang yang berdzikir (dengan mursyid-nya) mempunyai bobot nilai yang sangat berat bagi ruhaninya, yang tentunya bisa memberikan wujud normal “manusia” bagi pengamalnya—bukan wujud hewan atau semacam monster. 

Keempat, Tanda mencintai kepada Allah adalah cinta berdzikir kepada Allah dan tanda benci kepada Allah adalah benci berdzikir kepada Allah.

Mencintai Allah hanya bisa dibuktikan dengan berdzikir, karena hanya dengan memperbanyak berdzikir itulah sifat-sifat Rububiyah bisa melekat dan membentuk diri “yang baru” bagi setiap orang. Sebaliknya, orang yang membenci Allah adalah orang yang membenci berdzikir, termasuk yang tidak suka dengan para sufi dan santri-santri yang ahli dzikir.

Kelima, Allah berfirman, “Aku tetap menyertai hamba-Ku ketika dia mengingatku dan kedua bibirnya bergerak-gerak karena berdzikir kepada-Ku.”

Inilah penegasan Allah yang menjadi titik pengaman bagi manusia untuk tetap berdzikir, karena Allah tidak akan pernah membiarkan hambanya yang ahli dzikir sendirian dan kalah menghadapi dunianya yang kejam. Seorang ahli dzikir pasti akan menuai pertolongan dan mendapatkan perlindungannya.

Keenam, Berdzikir kepada Allah di waktu pagi dan sore adalah lebih utama daripada memukulkan pedang di waktu perang sabil.

Orang yang suluk-i’tikaf, yang memaksimalkan waktunya untuk berdzikir kepada Allah lebih istimewa bagi Allah dibandingkan mereka yang mengangkat senjata, mengokang senapan, meledakkan mortir, mengoperasikan ranpur-tank, membidik sasaran dengan bazooka, dan mungkin menarik pelatuk meriam dalam palagan jihad membela agama Allah. Berperang di jalan Allah itu nilainya sangat tinggi, karena pengorbanannya yang melibatkan nyawa, tenaga, harta, dan pengetahuan. Kedanti demikian dzikir tetap lebih tinggi dibandingkan dengan jihad.    

Dan ketujuh, Dzikir yang paling utama adalah “Laa Ilaha ilallah”.

Inilah kunci alam semesta, dzikir pamungkas yang bisa mengubah gerak alam semesta dan mempengaruhi segala rotasinya. Apapun yang ada di alam semesta ini hanya berpusar pada dzikir tauhid ini, sekaligus menjadi titik kumpul bagi semua energi positif yang ada di seluruh alam semesta. Tidak heran jika setiap orang sebenarnya mengharapkan bisa mengamalkan dzikir ini, namun tidak banyak yang mendapatkannya.

Beberapa orang bahkan  terpaksa mengamalkan dzikir ini, tanpa bimbingan Guru Mursyid dan tanpa mendapatkannya secara riwayah (terputus dari pemilik awalnya—Rasulullah). Mereka hanya membaca tulisan hadits ini dan kemudian mengamalkannya. Sehingga bacaan dzikir tauhidnya tanpa potensi, seperti balon yang hanya berisi angin, bukan berisi sesuatu yang hebat seperti emas atau intan berlian.

Kajian malam itu diiikuti oleh beberapa jamaah yang ikut tawajuh dan yang “hanya ikut kajian” saja, diantaranya yaitu Syihabuddin, Sifyani, Darmawan, Mbah Sidik, Sukardi, Sismanan, Faizin, Sandro, Hariyanto, dan Wiyoto. Kemudian jamaah putri terdiri atas Hindun, Mareta dan Harti. Kajian berjalan cukup tiga puluh menit, diiringi dengan gurauan dan guyonan, yang dilengkapi dengan penjelasan beberapa jamaah yang mampu. Hal itu sudah cukup baik untuk menggali sedikit demi sedikit khazanah keilmuan islam.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *