kitasama.or.id – Kedua: Internasionalisme atau perikemanusiaan, Sukarno mengatakan :
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism… Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia. Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara tidak lantas menonjolkan “kesombongan diri sebagai bangsa” yang lebih tinggi atas bangsa lainnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh Fasisme.
Tapi sebuah negara yang akan menjunjung kehidupan global, menjunjung tinggi kebersamaan dalam kehidupan internasional, yang mendukung keberadaan organisasi internasional untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.
Menjelang kelahiran Indonesia telah terjadi peristiwa Perang Dunia II yang kengeriannya hingga kini masih tersimpan baik dalam memori-memori sejarah (yang ditulis oleh para ilmuwan, novelis dan wartawan) dan ingatan para saksi dan pelaku.
Perang Dunia II memberikan dampak kehancuran yang tiada tara bagi bangsa-bangsa yang tertindas, karena perang menyebar dan meluas ke seluruh dunia, terutama wilayah-wilayah yang disinggahi oleh bangsa Eropa sebagai koloninya.
Kepulauan Hindia yang dijajah oleh Belanda harus menghadapi serangan Kekaisaran Jepang dengan kecanggihan mesin perangnya. Dalam serangan yang frontal-serentak-koordinatif, pada hitungan bulan wilayah kepulauan Hindia bisa diserap kedalam kekuasaan kekaisaran Jepang dan menyingkirkan Belanda dari tanah Hindia.
Yang terjadi kemudian adalah kengerian yang sangat menyakitkan, karena Jepang membutuhkan tenaga-tenaga muda orang-orang Jawa-Sumatra untuk menjadi pekerja paksa dan tentara pendukung Perang Pasifik.
Di belahan dunia lainnya, di Eropa, di Cina, di India, di Amerika Latin dan di Afrika Utara Perang ini membelah masyarakat dan menkarut marutkan tatanan bernegara di setiap wilayah.
Keberadaan LBB yang didirikan untuk menjaga perdamaian di Eropa pasca Perang Dunia I ternyata tidak cukup mampu untuk membendung terjadinya perang berkelanjutan. Yang terjadi jelas, bahwa perang yang lebih ngeri bakal terjadi dan menjadi letusan bagi awal kehancuran peradaban modern.
Pada konteks kehancuran dan negara-negara yang terbelah itulah bangsa Indonesia mendirikan negara dengan azas internasionalisme atau perikemanusiaan yang berusaha untuk mendorong kehidupan yang damai di seluruh dunia dan mencegah terjadinya kolonialisme yang sudah diajarkan oleh bangsa Eropa di abad 20 M.
Dengan kata lain berdirinya Indonesia bukan hanya untuk bangsa Indonesia yang secara teritorial hidup di wilayahnya, tapi juga untuk bangsa di seluruh dunia untuk bersama-sama merawat perdamaian dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta menghindari terjadinya kengerian perang besar yang lebih lanjut.
Saya tegaskan, bahwa azas internasionalisme atau perikemanusian merupakan penekanan visi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdiri untuk mengajak bangsa-bangsa lainnya agar tidak terlibat perang dan terbelah menjadi saling bermusuhan.
Dan dalam perjalanannya, Pasca Perang Dunia II memang telah terbentuk dua blok yang melangsungkan perang dingin selama kurang lebih 6,5 tahun. Sebagai bangsa yang menjunjung perdamaian, Indonesia konsisten bergabung dalam Gerakan non-blok, walaupun pada akhirnya harus menerima konsekwensi untuk berhadap dengan kedua blok.
Azas perikemanusiaan ini sejalan dengan pemikiran Kiai Mahfudz Sidiq tentang ukhuwah insaniyah yang berupaya untuk menyatukan seluruh masyarakat internasional guna bersama-sama hidup dan menjadi saudara antara satu dengan yang lainnya.
Ukhuwah Insaniyah menghapus kebanggaan sebagai suatu bangsa tertentu atau agama tertentu, tapi sebagai manusia yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan dan lahir sebagai makhluk yang sama.
Ketiga: Mufakat dan Demokrasi
Sukarno mengatakan :
Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan… Kita mendirikan negara “semua buat semua”, satu buat semua, semua buat satu. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan…. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.
Allah dan Rasulullah memerintahkan agar muslim senantiasa bermusyawarah dalam memecahkan segala permasalahan yang dihadapinya, karena dari musyawarah inilah akan lahir sebuah kemufakatan yang memiliki dampak kemaslahatan bagi semua orang dan bagi alam sekitarnya.
Atas dasar pemikiran inilah bangsa Indonesia mengadopsi konsep mufakat dan demokrasi sebagai salah satu azas dalam mendirikan negara Indonesia, yang sudah diterapkan oleh bangsa Perancis dan Jerman dalam menyatukan identitas kebangsaannya, dan kemudian diidealkan oleh bangsa Amerika Serikat secara matang dalam system pemerintahannya.
Indonesia bukan dibentuk mengikuti pola-pola colonial yang berdiri “menjadi negara” bagian dari kerajaan Belanda, atau mengikuti pola-pola bangsa Arab yang terbelah menjadi beberapa kerajaan, atau pola-pola Inggris-Amerika yang menginginkan Federasi antar bangsa, atau bahkan meneruskan kejayaan masa lalu dengan meneruskan salah satu kerajaan di Jawa (Mataram atau Majapahit), tapi dibentuk dengan konsep “mufakat dan demokrasi” yang menyatukan gagasan bernegara dalam satu kesatuan—alih-alih federasi yang diarsiteki oleh Belanda (Federasi Belanda-Indonesia atau Republik Indonesia Serikat).
Mufakat dan demokrasi mendorong terciptanya masyarakat yang sama dalam berpolitik dan sama posisinya sebagai warga negara. Menjadi Bangsa Indonesia secara otomatis memiliki kedudukan yang sama sebagai warga negara dan sama pula dalam memberikan pengabdiannya. Mufakat dan demokrasi dibentuk dalam perwakilan yang dipilih oleh semua kalangan warga negara untuk berpartisipasi dalam bernegara serta ikut serta berkontribusi dalam pembangunan. (Siti Fatkhiyatul Jannah)