Membaca Ulang Tayuban; Dalam Konteks Dua Sisi Berbeda, Sebagai Kesenian dan Tempat Maksiat

Membaca Ulang Tayuban; Dalam Konteks Dua Sisi Berbeda, Sebagai Kesenian dan Tempat Maksiat
Kesenian Tayuban adalah bentuk kreasi masyarakat Tuban yang lahir dari penghambaan diri kepada sang khalik, dan rasa syukur atas nikmat yang melekat dalam dunianya, menjadi bagian penting dalam kebuadayaan bangsa Indonesia. Namun Tayuban sering dirusak oleh oknum dengan kemaksiatan yang merusak moral dan tidak beretika mendidik.

Di Tuban, layaknya daerah lainnya di Indonesia mempunyai kesenian khas yang digemari oleh warganya, kesenian tersebut merupakan cermin dari inspirasi, intuisi, imajinasi, dan gagasan budaya yang berkembang menyertai peradaban manusia dan sejarah dari orang Tuban sendiri.

Apalagi jika bukan seni Tayub, yang keberadaannya sudah melekat dan melegenda dalam kehidupan masyarakat Tuban, terutama dalam hajatan-hajatan besar seperti pernikahan, sedekah bumi, tasyakuran kerja dan sejenisnya.

Bacaan Lainnya

Dus sisi Tayub

Jika dilihat dari sudut pandang kesenian maka tari kegiatan tayub merupakan kegiatan yang mencerminkan kreasi dari imajinasi masyarakat, yang melahirkan kebudayaan dan menghiasi kehidupan manusia di kehidupan perdesaan, sehingga dikenal sebagai kesenian dan warisan budaya bangsa.

Namun jika dilihat dari sudut pandang etika dan moralitas agama (baca: Islam) maka tayub akan melahirkan gagasan maksiat, pertemuan antara pihak lelaki dan perempuan bukan muhrim, perjudian (upyuk dan sejenisnya) kadang malah terjadi transaksi prostitusi “santun” antara pelanggan dengan sang sinden—terselumbung, dan pastinya tersedianya minum-minuman yang memabukkan—dari tuak hingga anggur yang difermentasi.

Hal itulah yang pada gilirannya melahirkan dua sisi tayub yang berbenturan, disatu sisi tayub sebagai kesenian dan warisan budaya merupakan perihal yang jelas positif dan disisi lainnya tayub yang syarat “maksiat” jelas mengandung sisi negatif.

Sekolah menjauhi tayub

Sebagai kesenian khas daerah dari Tuban dengan segala aroma negatif yang ada di dalamnya itulah lembaga Pendidikan—madrasah, pondok pesantren dan bahkan sekolah—seakan-akan tutup mata (diam dan enggan) untuk mengembangkan kesenian khas daerah Tuban ini, menjadi bagian dari kegiatan ekstrakulikuler—misalnya, jika tidak masuk kurikulum utama.

Pada konteks itu bisa diketahui jika masayarakat (muslim Tuban, nahdliyin maupun muhammadiyyin, termasuk insan elit pendidik—dari kiai, guru hingga tokoh masyarakat berbasis agama) belum mampu membedakan antara kesenian Tayub sebagai sebuah kesenian dan kegiatan yang terjadi di luar kesenian tayub—yang dipandang negative dan terkesan menjijikkan.

Bahkan jika menyaksikan pakaian para sinden yang sangat ketat, hingga menampilkan bentuk lekuk tubuh pesindennya yang terlihat “semelohe”, dada mulus dekat susu yang semakin nampak indah di pandang, maka menjadi salah satu dalih kalangan santri memandang sebagai tempat maksiat, yang cenderung kurang suka dengan kesenian tayub.

Membedakan tayub dan diluarnya

Pada dasarnya kesenian Tayub adalah sebuah karya seni peninggalan “nenek moyang” yang bernilai sejarah tinggi bagi kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di Tuban—yang sudah sepantasnya menjadi warisan dunia pendidikan bangsa. Artinya pihak sekolah/madrasah-lah yang berperan sebagai tempat untuk mulai melestarikan budaya tayub sejak usia dini—menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran.

Tayub harus dibedakan dengan tayub sebagai “kesenian” dengan kegiatan “kegiatan diluar tayub”. Sama halnya dengan membedakan kegiatan sholawatan sebagai dakwah seni islam dengan kegiatan di luar sholawatan yang ada di sekitarnya, seperti pacaran, kerusuhan, pencopetan, dan kegiatan mungkar lainnya.

Adanya beragam kegiatan maksiat di dalam tayub-an itu sebenarnya bukan dari sisi kesenianya, tapi lebih pada kegiatan diluar tayuban yang dilakukan oleh para “oknum tidak bermoral—tidak bertanggung jawab”. Para oknum tersebut melakukan maksiat itu ketika pertunjukan kesenian Tayuban hanya untuk “merusak” keindahan kesenian dan memanfaatkan momentum “hiburan” dengan hal-hal lain yang menyenangkan. Perjudian misalnya, sangat menyenangkan dan seru karena melibatkan keahlian untuk menebak “sesuatu yang tersembunyi.”

Lalu mabuk-mabukan, jelas lebih menyenangkan dan menghasilkan suasana ekstasi yang membuat pikiran “melayang” tanpa terkontrol, sebagai cara para oknum untuk menghilangkan rasa “minder” menghadapi orang dan perasaan kecil hati dihadapan “cewek-nya”.

Dan yang lebih “menyenangkan” bagi para oknum tentu pakaian busana para sindennya yang agak terbuka dan ketat membentuk body seksi-nya. Adanya pakaian seperti itu dianggap sebagai kesempatan bagi para oknum untuk menyaksikan dari dekat para “bidadari desa” dengan gratis dan tentunya menguntungkan “pandangan mata”.

Dari sinilah kita bisa menarik benang merah dalam mendalami kesenian tayub, yakni perlunya melihat tayub sebagai sebuah kesenian dan perlunya ada ketegasan untuk memisahkannya dengan kegiatan “maksiat” yang dilakukan oknum penggemar tayub  yang berada “diluar” tayub. Artinya tayub dengan kemaksiatan yang menyertainya adalah sesuatu yang berbeda—kendati memang menjadi salah satu sebab adanya maksiat tersebut.

Sebaiknya kita melakukan …

Sebagai tindakan bijkasana maka sebaiknya dunia pendidikan, terutama lembaga-lembaganya yang sudah menancap di seluruh bagian pelosok Tuban—pesantren, sekolah, madrasah; sebagai tempat untuk membahas ilmu-ilmu teoritis—perlu menegaskan fungsinya sebagai agen yang turut serta mengembangkan budaya, kesenian dan adat istiadat.

Hal tersebut dilakukan dalam rangka membuka peluang untuk mengembangkan potensi kesenian dalam diri peserta didik. Karena jika Tayuban ini tidak ada upaya pengenalan kepada generasi muda di sekolah, bisa dipastikan maka kedepan hanya akan menjadi semacam “cerita” tanpa esensi yang berarti bagi kebudayaan bangsa.

Pada konteks tersebut pemerintah harus hadir, memberikan kebijakan nyata, dan intruksi “tidak mengikat” kepada sekolah/madrasah, dengan tujuan mengembangkan dan mengenalkan Tayub-an kepada generasi muda.

Tentu saja konsepnya adalah sebuah kesenian yang bisa di terima dan di kembangkan dengan disertai gagasan etika-moralitas-keislaman yang lebih baik—bisa diterima oleh masyarakat muslim. Dan yang jauh lebih penting, kegiatan para oknum maksiat ditindak tegas dengan melibatkan aparat keamanan pemerintah—polisi atau aparat swasta—seperti Banser Ansor, Linmas, dan sejenisnya.

Jika hal tersebut bisa dilakukan maka pendidikan di Tuban bisa berperan ganda, selain sebagai wadah mendidik anak juga menjadi jalan tengah untuk mengenalkan kesenian Tayub-an lebih tersetruktur, sistematis dan masif kepada masyarakat.

Pos terkait