TUBAN. JAGATKITASAMA.COM – Keempat, guru ngaji yang bergairah yang selalu meluangkan waktunya di saat Lelah berkerja, Lelah menghadapi rumah tangganya, Lelah dengan membesarkan putra-putrinya, Lelah menghadapi pasangannya, Lelah menyaksikan berita-berita yang tanpa ada ujungnya melalui online, Lelah dengan bisik-bisik tetangga yang tanpa di dasari perenungan dan pastinya Lelah dengan rutinitasnya setiap hari.
Guru ngaji yang demikian itulah yang menjadi manusia keramat, manusia yang memiliki rahmat langsung dari Allah—karena memberikan kesabaran dan ketekunannya dalam mendidik anak-anak santri untuk mempelajari ke-islaman.
Guru ngaji yang bergairah, tanpa melihat uang saku yang diterimanya—yang pastinya kurang layak untuk disebut sebagai gaji bulanan—menjadi faktor penting dalam menguatkan institusi TPQ-MQ. Dengan kesabaran beliau-beliau kelembagaan TPQ-MQ bisa berdiri kokoh, menyebarkan aura keilmuan dan menjadikan tempat mengaji itu hidup bagaikan makhluk yang bernyawa.
Tidak ada artinya sebuah negara tanpa warga negara—tanpa manusia, tidak ada artinya sebuah rumah tanpa ada rumah tangga, tidak ada artinya sebuah lapangan tanpa ada permainan sepakbola atau sejenisnya, dan tidak ada artinya sebuah bangunan yang megah tanpa aktivitas yang mengandung berkah, keilmuan, kenikmatan, kajian pengetahuan, serta teriakan anak-anak melantunkan ayat-ayat Tuhan.
Begitu juga dengan bangunan institusi Pendidikan, seperti halnya TPQ dan MQ, sangat tidak berarti jika tidak ada guru yang siap mengajarkan ilmunya kepada santri—pasti santri akan “kosong” dan pulang tanpa mendapatkan pengalaman belajar.
Guru ngaji sangat penting bagi eksistensi sebuah bangunan TPQ-MQ, karena peran-peran merekalah sebuah tempat itu bisa bersinar, memancarkan keramaian mengaji, menerangi gairah desa yang dipenuhi kegiatan Bertani, dan memberikan dorongan kuat terhadap “warna-warni” desa yang sedang dihiasi dengan peran kegiatan yang sangat berarti.
Para guru sangat dibutuhkan loyalitasnya, kinerjanya, luang waktunya, keras kerjanya, sabar hatinya, dan komitmen dengan komunitas (TPQ-MQ)-nya, jelas merupakan modal yang sangat berharga melebihi uang dan harta yang melimpah. Harta yang melimpah tidak bisa diukur dengan peran para guru ngaji, walaupun para guru juga sangat memerlukan kesejahteraan yang layak.
Seandainya dibeli, maka tidak ada uang dan emas yang bisa membeli “peran” dan “tenaga loyalitas” guru ngaji yang mengajar anak-anak santri desa.
Pemerintah desa, pemerintah daerah, dan bahkan orang-orang kaya di sekitar TPQ-MQ wajib hukumnya memperhatikan kesejahteraan dan kenyamanan hidup para guru ngaji. Tiga komponen itu wajib bersyukur dengan para guru ngaji, karena jasa (mengajar) merekalah sebuah desa atau daerah kabupaten/kota bisa memiliki anak-anak yang rajin, santun, gemar ke masjid, dan desanya terlihat hidup.
Maka sudah sewajarnya, dan sudah kewajibannya orang-orang yang memiliki kelebihan harta, para dermawan yang diberkahi hartanya mudah dicari, dan para walisantri yang lancar pekerjaan—uangnya, untuk “berjamaah” berbondong-bondong memberikan upaya “kemakmuran” kepada para guru ngaji.
Kelima, jaringan relawan-dermawan TKI di Malaysia.
Sebagaimana sebagian besar desa-desa di Indonesia, banyak para generasi mudanya yang mengawali pernikahan awal dan pertengahan yang berkerja keras di Malaysia untuk mencari nafkah.
Mereka adalah orang-orang yang berupaya keras membangun keluarganya, memberikan kiriman uang dan menyisihkan sedikit hartanya untuk membangun TPQ-MQ.
Jaringan para relawan-dermawan dari warga Setro di Malaysia inilah yang menompang eksistensi TPQ-MQ Dziya’ul Ulum. Turut serta membantu penggalian dan pengumpulannya, agar TPQ-MQ cukup layak untuk ditempati belajar anak-anak desa.
Jaringan orang-orang TKI ini merupakan asset-aset yang berharga, karena hatinya dengan lapang dada berani untuk memberikan sedikit hasil jerih payahnya kepada sebuah institusi Pendidikan.
Setiap koin dan lembaran yang mereka sumbangkan adalah sebuah investasi masa depan yang sangat berarti bagi kemajuan desa, berpotensi memajukan warganya, mendorong berdirinya perilaku santun bersahaja. Dan sekaligus turut mengupayakan terwujudnya Indonesia Emas 2035.
***
Itulah lima modal sosial yang sangat berharga yang dimiliki oleh TPQ-MQ Dziya’ul Ulum, yang menjadikan desa Ketambul semakin bersinar dengan keriangan anak-anak santri yang mengaji, belajar hadits, melancarkan bacaan qur’annya, berlatih menulis aksara Arab dan menghafal surat-surat al-Qur’an yang berguna untuk mengerjakan sholat lima waktu.
Jika modal sosial ini terus digerakkan, rutin dijalankan dan istiqomah persatukan dalam ikatan hubungan maka tidak menutup kemungkinan TPQ-MQ Dziya’ul Ulum yang dikelolah oleh Yayasan Pendidikan Islam An-Nurdinniyah akan terus berkembang dan kelak bisa berinovasi dalam bentuk kelembagaan lainnya. (Moh. Syihabuddin)