kitasama.or.id – Di warung kopi yang dihias dengan warna merah-kuning bertuliskan “Warkop Ganas 98”, berada di sebuah tanah yang dulunya merupakan tambak di desa Liwetketan yang tidak lagi menjanjikan nilai ekonomi bagi pemiliknya, orang-orang yang tanpa harapan dan visi hidup yang jelas berkumpul menghabiskan waktunya dengan secangkir kopi dan nasi bungkus selama berjam-jam. Hanya bermodalkan uang 10.000 rupiah pria-pria tanpa pandangan di masa depannya yang jelas membuang-buang waktunya tanpa ada inspirasi kebangkitan dalam hidupnya yang semakin terpuruk.
Lima orang yang ingin cepat kaya menentukan titik kumpulnya di “warung ganas 98”, sebelum mereka bersama-sama berangkat untuk mendatangi lokasi keberadaan jatuhnya hujan kerikil emas.
Ipung adalah yang pertama datang. Dia berusaha memperbaiki dirinya dengan menjaga konsistensi waktu dan hadir tepat waktu yang disepakati. Dia yakin bahwa dengan menjaga dan memanfaatkan waktu secara baik maka semuanya akan berjalan dengan baik. Tapi apa daya lingkungan dan pertemanan yang buruk merusak semua pemikirannya dan apa yang dijadikan pedoman hidupnya. Sudah satu jam lebih dia menunggu di warung ganas 98, tapi satu pun temannya belum ada yang menunjukkan batang hidungnya.
Ipung tidak bisa marah, hanya pasrah dengan keadaan, karena karakter buruk tidak mudah diperbaiki dan tidak mudah pula didaur ulang untuk menjadi baik. Sekali buruk, lahir dari orang tua yang buruk, maka hasilnya pun akan menjadikan anak yang buruk. Kira-kira yang ada di dalam pikirannya.
Lima temannya disadarinya merupakan orang-orang yang butuh uang, karena perilaku buruknya di masa lalu yang kurang bijak menyikapi uang yang dimilikinya. Sehingga dalam perkembangannya membentuk teman-temannya itu orang yang berkarakter buruk dan kurang bisa menghargai waktu.
Satu jam kemudian, Cengkong baru datang, tiga puluh menitnya lagi Hasyim menyusul, lalu Karmulin yang diikuti dengan Benjhol yang hadir pada pukul 10.00.
“Kalian semua memang keren, janjian pukul 07.00 tapi datang pada pukul 10.00. itu cara terbaik untuk tetap merusak diri kalian.” Ipung memarahi teman-temannya. “Apa kalian tidak shubuh?”
“Qodlo’ kan tidak masalah, iyakan.” Bantah Hasyim, sang mantan kepala desa.
“Iya, lagian sepertinya sholat kita kurang diterima oleh Tuhan. Faktanya kita tetap ditakdirkan Tuhan miskin dan tidak sejahtera di saat kaum sebelah—cina, yahudi, dan bangsa eropa sudah kaya raya.” Sambung Cengkong.
“Dasar kalian orang-orang tolol, ini tidak berhubungan dengan kita kaya atau tidak dengan sholat yang kita kerjakan, tapi ini menyangkut kepercayaan diantara kita, bagaimana kita bisa saling percaya jika untuk menjaga ketepatan waktu saja kita gagal menyelesaikannya.” Tegas Ipung, sambil menghabiskan kopinya.
“Oke, aku tidak mau tahu kalian sholat atau tidak, yang penting apa yang kita sepakati harus kita lakukan. Jika kita sepakat berkumpul pukul 07.00 ya ayo berkumpul pada pukul 07.00, jangan kemudian masing-masing mengubahnya tanpa adanya pemberitahuan dan merasa gampangno masalah.” Ipung semakin marah.
“Lihat, karena tingkah laku kalian kita kehilangan tiga jam yang sangat berharga.” Ipung menahan amarahnya dan berusaha memahami kebobrokan mental teman-temannya.
Pandangan Ipung mengarah ke Karmulin, “Terus kamu, tetap saja manusia batu yang sulit berubah, kau tidak merasa beruntung sekalipun bisa hidup bergandeng reteng dengan kita, disaat orang-orang sedang banyak meninggalkanmu.”
Karmulin menarik nafas panjang, berusaha menahan rasa malunya. “Iya mas, iya, maaf. Aku tadi memang tidak bisa bangun pagi, pukul 09.00 aku baru bangun karena tadi malam aku kelelahan nonton pertandingan yang seru antara Arsenal vs Chelsea.”
“Lalu kamu tidur jam berapa?” tanya Ipung.
Malu-malu Karmulin menjawab, “jam 03.00 menjelang adzan shubuh aku baru tidur, tadi pada pukul 22.00 aku membaca chating watshapp-nya mas Ipung untuk diajak berkumpul di warung ganas 98 ini.” Karmulin menyampaikan kata-kata pembelaannya.
“Sudah-sudah, kita harus cabut dari sini dan segera bergerak.” Ajak Cengkong berusaha memecah ketegangan.
“Sebentar, sebelum lebih jauh melangkah, persoalan ini harus diselesaikan dulu.” Ipung mempertegas prinsipnya agar teman-temannya lebih menaati waktu yang telah disepakatinya. “Mas Cengkok tidur jam berapa tadi malam, dan kenapa telat?”
Cengkong menarik nafas panjangnya, memberikan penjelasan yang lebih jujur dengan kondisinya, “tadi malam pukul 03.00 aku baru tidur, semalaman dari warkop aku menghabiskan waktu dengan bermain tiktok, melihat teriakan aneh jagatnya orang-orang selingkuh. Setelah itu bangun pukul 09.00, mandi dan main tiktok lagi hingga mau berangkat kesini.” Seperti orang yang tidak berdosa, Cengkong cengengesan menunjukkan wajah orang-orang yang malas bekerja.
“Lalu kang Hasyim, kenapa bisa terlambat?” Ipung lanjut menatap Hasyim yang juga tersenyum mendengar alasan Cengkong—lucu dan memang karakter pemalas.
“Hadewww, kamu ingin tahu juga sih. Yang jelas tadi malam aku berada di depan televisi sambil bermain youtube, ya sebagaimana kebanyakan orang bodoh dewasa ini-lah.” Hasyim sadar jika kebiasaan buruknya itu merupakan kebiasaan orang-orang yang tidak berilmu.
“Lalu kemudian aku mendengar adzan shubuh, bergegaslah aku mandi lalu tidur. Dan pada pukul 10.00 aku baru bangun, meneruskannya dengan menqodlo’ shubuh hingga sekarang aku bisa bertemu dengan kalian lagi.”
“Sudah kuduga, pasti kamu menghabiskan waktu dengan youtube yang tidak ada gunanya sama sekali.” Ipung semakin kesal.
“Mas, apakah kamu ingin tahu alas an keterlambatanku juga?” Benjhol tertawa, sambil menggoda Ipung yang kesal dengan sikap teman-temannya.
“Terserah, dijawab pasti akan menghasilkan pendengaran yang menyakitkan.” Ipung memprediksi hasil dari apa yang akan dikatakan oleh Benjhol.
Benjhol tertawa, menaiki motornya. “Tadi malam aku tidak langsung tidur, dan itu sudah menjadi kebiasaanku sejak dulu. Aku menghabiskan waktuku malam itu dengan melihat statusnya teman-teman di watshapp, melihat Instagram yang semakin berkembang isu-isu terkininya, dan yang paling penting aku sedang mendownload gambar-gambar wanita seksi yang bisa aku nikmati jika sedang sendirian.”
“Astaghfirullah, kau jujur sekali mengatakan perbuatan tercelamu.” Ipung menghelah nafas panjangnya lagi, semakin tidak bisa berfikir dengan kebiasaan hariannya teman-temannya, semakin mengarah pada perilaku-perilaku yang merusak dirinya sendiri.
“Lha mau apa dong, kita ini kan laki-laki jadi sudah menjadi kewajaran dong melihat wanita seksi. Kapn Cuma gambar, bukan kenyataan. Lebih tidak berdosakan mas?” Benjhol membantah dengan suara tertawa yang diperkeras.
Kehabisan kesabaran dan sudah tidak bisa memberikan solusi bagi teman-temannya, akhirnya Ipnung menyerah dan mengalihkan pembahasan pada tujuan utamanya. “Ya sudah, semua kebiasaan buruk kalian bukan aku yang patut tahu, tapi sebaiknya kalian menghargai waktu yang sudah disepakati bersama dalam kesepakatan kita.”
Merasa mendapatkan peringatan dan diceramahi oleh sahabatnya, keempat orang itu bersama-sama menjawab, “Geh, Gus. Sendiko kiai.”
Dan Ipung hanya bisa tertawa menendang bokongnya Hasyim. “Sialan kalian.”
Taklama kemudian berangkatlah mereka berlima kesebuah hutan yang dinyakini oleh Ipung sebagai tempat turunya hujan kerikil emas yang didatangkan oleh seorang kiai yang misterius.
***
Setelah bersepeda motor selama satu jam setengah (dengan kecepatan yang hanya 30-40) akhirnya mereka sampai di sebuah hutan yang tidak jauh dari tempatnya tinggal, hanya dipisahkan oleh satu kecamatan saja yang jaraknya tidak cukup jauh.
Ipung menunjukkan lokasi sebenarnya, tempat dirinya menyaksikan seorang kiai mendatangkan hujan emas. “Inilah tempatnya?”
Keempat temannya meragukan, tidak yakin dengan lokasi yang ditunjukkan oleh Ipung.
“Beneran disini, tempat yang kamu lihat?” Hasyim berusaha membantah. “Di hutan yang sepi ini.”
“Justru di tempat yang sepi inilah mendatangkan emas dari langit bisa aman dari penglihatan banyak orang, karena akan menimbulkan kehebohan dan bisa mendatangkan sesuatu yang viral di media virtual.” Karmulin memberikan dukungan pada Ipung.
“Baiklah, lebih tepatnya dimana emas kerikil itu benar-benar turun?” Hasyim menegaskan lokasi yang dilihatnya.
“Kalian lihatlah tanah perkebunan itu, disampingnya ada hutan yang membentuk sebuah gunung, dan memang itu sebuah gunung yang berhutan. Di hutan itulah emas itu benar-benar turun dari langit, dan di tanah perkebunan itulah aku melihat seorang kiai yang berdoa dan melihat langsung hasil doanya dari langit—kerikil-kerikil emas yang turun.” Tegas Ipung.
“Jika yang kamu yakini itu benar-benar menyakinkan, sebaiknya kita langsung ke perkebunan itu. Kita parkirkan motor kita disini dan kita berjalan menuju kesana.” Cengkong sudah tidak sabar untuk mendapatkan emas yang dipikirkannya.
“Eh, tunggu, sebaiknya ada yang menjaga motor kita. Tahu-tahu ada yang usil nanti masih ada satu orang yang bisa menjaga motor-motor kita.” Benjhol memberikan usulannya.
“Cerdas juga kami disaat kondisi seperti ini. Memang pikiranmu terkadang langsung cerdas jika diajak untuk mencari uang.” Kritik Ipung.
“Memang itu yang dialami oleh banyak orang, mas Ipung.” Benjhol membela diri.
Disepakatilah satu orang yang menjaga motor, dan itu jatuh pada Karmulin.
“Kenapa harus aku yang menjaga motor?” Karmulin heran dengan keputusan teman-temannya.
“He, kepala ikan jogor, sudah untung kami mengajakmu dalam misi penting ini. Kamu harus sadar jika kamu tidak lagi punya teman yang mengajak kamu bekerja atau ber-ngopi-ngopi di warkop.” Tegas Hasyim, kesal dengan bantahan Karmulin. “Menurut sajalah, jangan membantah.”
“Iyalah, kayaknya yang tidak pantas mengetahui kondisi di lokasi turunnya emas hanya kamu. Kamu sudah terlalu banyak menyusahkan banyak orang.” Cengkong tertawa, menguatkan ejekkannya kepada Karmulin.
Karmulin pada akhirnya sadar, bahwa dia hanya beruntung karena perjuangan dari Ipung. Tanpa kepercayaan dari Ipung dia tidak lagi mempunyai komunitas, kendati hanya komunitasnya orang-orang malas. “Baiklah, aku disini saja.”