DARAH DAN KERINGAT; Kisah Kerja Keras yang Telah Lenyap

DARAH DAN KERINGAT; Kisah Kerja Keras yang Telah Lenyap
Menjadi seorang bintang tantangan terbesar adalah ketenaran, apakah hal itu menjadi sebuah kebaikan atau kerusakan dirinya sendiri? jika menjadi kebaikan maka dia akan selamat dan menjadi manusia yang berhasil, tapi tidak sedikit yang pada akhirnya terpuruk dan gagal

kitasama.or.id – Sekelompok orang—mungkin ada lima orang—laki-laki mengepung satu orang lainnya, yang tidak lain orang itu adalah Bum Joong. Menendang perutnya secara bergantian hingga lelaki bernama Kim Bum Joong itu memuntahkan ludah berwarna merah pekat ke atas tanah. Tanpa henti kelima lelaki itu melakukan hal yang sama, sehingga Bum Joong tidak bisa menghentikan mereka. Bahkan untuk bersuara pun yang keluar dari bibirnya hanyalah rintihan samar.

Berlokasi di sebuah gang yang tercipta di antara dua gedung pinggiran kota, di antara kumpulan tong sampah yang sudah penuh, Bum Joong dikepung di sana, hari itu telah  menjelang malam, jam setengah tujuh bintang-bintang perlahan muncul dalam langit yang menghitam. Suara kendaraan dan pejalan kaki yang menyeberang di perempatan yang ada membuat suara Bum Joong semakin tak terdengar. Suara tawa kelima orang laki-laki itu terdengar keras, seolah dengan menendang perut Bum Joong merupakan kesengan tersendiri bagi mereka.

Bacaan Lainnya

“Jawab pertanyaanku!” Suara salah satu di antara kelima orang itu, sebut saja dia Hyun Sik, rambutnya di cat hijau legam, tingginya hampir sama dengan Bum Joong jika keduanya berdiri di posisi yang sama. Namun berhubung Bum Joong sedang berada di bawahnya, rasanya ia sedang membully siswa kutubuku.

Dengan tangannya yang mengepal, kepalannya menjambak rambut Bum Joong yang kaku itu hingga wajah lelaki beralis tebal itu sontak terangkat ke atas. Kedua bibirnya sedikit terbuka, ada bercak merah yang masih menyeruak dari sana, kedua matanya agak rabun karena darah di pelipisnya sempat masuk ke area mata, ya, jika ia tidak kesulitan melihat mungkin ia akan dengan jelas melihat seseorang yang mengganggunya sekarang. Tidak, bukan seseorang. Tapi mereka. Suara terengah-engah terdengar dari tenggorokannya yang mengering.

“Apa kau saudaranya Hong Joong?” Pertanyaannya penuh intimidasi, sementara Bum Joong menyipitkan matanya yang hampir tak terlihat, “kalau kau tidak menjawab pertanyaanku rasa sakitmu akan lebih dari ini!” lanjutnya penuh ancaman.

“Apa…apa yang sedang…kau bicarakan…” Suara Bum Joong yang serak itu tiba-tiba berubah menjadi sebuah erangan kesakitan ketika salah satu di antara keempat orang lainnya menusukkan sesuatu ke bagian perutnya. Spontan Bum Joong meringkuk, bekas luka yang ia terima tempo lalu belum sepenuhnya pulih, masih tersisa bercak perih yang ia rasakan karena sobekan yang terlalu dalam.

Meski ia harus membenturkan kepalanya karena terlalu membungkukkan kepalanya hingga mendekat ke tanah ia tak peduli, yang ia rasakan kali ini adalah jauh lebih menyakitkan dibandingkan momen di saat ia ingin bertemu dengan Hong Joong waktu itu.

Ya, dia ingin mengatakan sesuatu kepada adiknya. Lebih  tepatnya bertanya.

Namun pertanyaan itu perlahan tertimbun dengan masalah yang semakin bertambah seiring media mengenal dirinya sebagai saudara kandung Hong Joong. Sedikit Bum Joong berpikir akan menyalahkan Hong Joong karena ini semua. Banyak yang mengganggu dalam kehidupannya semenjak Hong Joong mengungkapkan identitas prioritasnya.

Pikiran Bum Joong hampir buyar saat Hyun  Sik kembali menjambak rambutnya ke atas, kini rasanya kulit kepalanya hendak putus, genggaman lelaki itu seperti melekat bersama lem saat rambutnya diremas olehnya. Kali ini Hyun Sik tidak mau memberikan jeda kepadanya setelah pertama menggerebek Kim Bum Joong saat tahu dia sedang berjalan menuju ke taman kota. Tampak jelas siapa sasaran mereka.

Tentu saja. Kakaknya Hong Joong.

Entah siapa yang membisik kepada mereka, kata-kata itu berbuah mujur. Meraup keuntungan tanpa modal apapun merupakan hal yang sedang populer di kalangan orang-orang lokal saat ini. Terutama pada Hyun Sik dan kawan-kawannya.

“Jawab pertanyaanku…APA KAU SAUDARANYA HONG JOONG?!” Suara Hyun Sik semakin lantang, kini tepat di depan daun telinga kanan Bum Joong. Sementara kakak tercinta Hong Joong itu harus menyesuaikan kesadarannya dengan rasa sakit yang semakin membengkak di tubuhnya.

Tidak seperti jawaban apa yang diharapkan Hyun Sik keluar dari bibir lebam Bum Joong, lelaki beralis tebal itu menjawab dengan suara rintihan yang tertahan, “Aku…bukan siapa-siapanya Hong Joong!” dan jawaban itu cukup membuat Hyun Sik geram. Ia pun membanting tubuh Bum Joong hingga tersungkur ke tanah, kemudian menghampirinya lalu menginjak perutnya seperti menginjak sebuah kaleng.

Suara batuk, erangan, dan muntahan tercipta hingga membuat wajah Bum Joong memerah, kedua matanya yang perih itu kini terbelalak karena terkejut dengan perlakuan Hyun Sik kepadanya. Masih di dalam gang yang gelap nan bau itu tidak akan ada orang yang mendengar suara rintihan meminta tolong dari Bum Joong. Baginya orang-orang yang mengepungnya kali ini begitu kuat.  

Tanpa ampun Hyun Sik menginjak kembali perut Bum Joong hingga yang ketiga kalinya akhirnya Bum Joong berteriak menghentikan aksinya.

“Tunggu!! Aku mohon…” Suaranya tertahan, cairan merah yang kental dan gelap itu kembali keluar dari mulutnya,  seperti air liur yang membeku. Tangan kanannya sibuk memegang dadanya yang panas, kini dirinya terlihat berantakan, di dalam kegelapan rambutnya tampak berminyak dan kusut, kaos abu-abu tua berlengan panjang yang ia kenakan terlihat menyeramkan, ditambah  noda merah yang melekat dengan keringat yang membasahi tubuhnya.

“Kami akan membebaskanmu jika kau menjawab pertanyaanku!”

“Tidak! Aku mohon padamu…tidak ada hubungannya dengan diriku…aku tidak ada hubungannya dengan orang yang kau maksud!” Kendati Bum Joong tahu tidak akan ada  gunannya bila ia mengatakan hal demikian, mana mungkin orang-orang—seperti mereka—percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Sudah jelas bahwa dia adalah saudara kandung Kim Hong Joong, sang idol K-Pop, leader dari grup idol Bajak Laut itu.  

Namun kali ini lain, mereka tidak akan menyelakainya bila tidak ingin membuat Hong Joong datang menemui mereka. Sebersit perkiraannya, mereka adalah orang-orang yang tidak jauh berbeda dengan seseorang berbaju serba hitam yang ia temui di gedung parkir. Di mana dirinya menemukan truk berisi patung-patung berbentuk manusia dengan pahatan sayap kupu-kupu di punggung mereka.

Patung manusia kupu-kupu?

Hal itulah yang ingin dikatakan dirinya kepada sang adik, hanya sebuah basa-basi yang hendak ia katakan apabila mereka bertemu di lain waktu sekali lagi.  Tetapi usut punya usut semua belum ia bicarakan. Seseorang telah menemuinya dua kali, dan di sanalah Hong Joong menemuinya. Dengan keadaan yang begitu berantakan.

Lalu? Apakah dia akan terlihat menyeramkan sekali lagi malam ini? Di hadapan Hong Joong? Sekali lagi? Hanya karena segerombolan orang-orang yang hendak mengganggu Hong Joong dengan mencoba menyelakai dirinya? Haruskah ia terlihat tak berdaya di depan mata adiknya yang mencoba melindunginya?

Hyun Sik tak peduli, ia tahu Bum Joong adalah kakak kandung sang bintang,  satu pukulan hebat terhunus ke wajah Bum Joong, membuat lelaki beralis tebal itu terlihat seperti orang yang sedang mabuk berat, ia pun meminta salah satu dari keempat temannya merogoh tas Bum Joong dan menemukan ponselnya. Lalu ia mengetik sesuatu di atas layar HP yang sedang ia pegang kemudian meletakkannya ke arah daun telinga. Memanggil seseorang. Ia menggunakan ponsel Bum Joong untuk menelepon adiknya.

“Jangan…jangan ganggu adikku…” Suara Bum Joong lirih membentuk sebuah bisikan yang tak terdengar. Masih tampak jelas suara lantang Hong Joong di seberang sana, menjawab panggilan Hyun Sik dengan sifatnya yang mudah marah.

Tidak, dia sedang sibuk! Jangan mengganggu adikku!  Kini yang terdengar dalam hatinya hanya suara batin yang bisu. Gang sempit yang bau itu kini hanya tercium bau amis dan keringat, suara napasnya yang tak karuan membuat dirinya ingin cepat-cepat tertidur meski tidak sedang berada di dalam rumah.

Untuk pertama kalinya Bum Joong menyalahkan dirinya sendiri. Sembilan belas tahun ia hidup sebagai seorang anak yang tidak begitu hebat—dibandingkan Hong Joong yang namanya telah melejit bersama dunia musik yang ia geluti sejak lulus SMA—di mata para tetangga. Toh, dulunya ia tidak peduli dengan hal seperti itu. Kedua orang tuanya tidak mempermasalahkan hal itu. Karena mereka terlahir dari keluarga berada.

Tapi kali ini ia menyesal. Mengapa harus dirinya yang terlahir sebelum Hong Joong. Meski hal itu tidak masuk akal untuk dipikirkan, namun di sanalah letak kesalahan yang ada. Apa mungkin karena keberadaan Hong Joong di dalam kehidupannya sehingga membuat dirinya terseret dalam lubang kematian sekali lagi. Rasanya ia hendak mati.         Perlahan kedua matanya terpejam hendak tertidur karena kelelahan, namun tiba-tiba suara erangan kembali ia hasilkan ketika seseorang kembali mengoyak lukanya. Membangunkan kesadarannya yang mencoba mengatakan pada dirinya sendiri bahwa tidak akan ada seseorang yang menemuinya. Sesaat kemudian ia sempat melupakan sosok Hong Joong. Sejenak menghapus bayangan Kim Hong Joong dari balik matanya yang terpejam.

Pos terkait