BADAI CINTA; Kisah Perjuangan Gadis Pesisir Membangun Mental (Part 2)

BADAI CINTA; Kisah Perjuangan Gadis Pesisir Membangun Mental (Part 2)
Tantangan hidup yang paling berat adalah menjadi tetap bahagia dan tetap ceria disaat menghadapi berbagai kegagalan dan kejatuhan. Menjadi lebih kuat dengan cara tetap bahagia adalah metode yang paling murah untuk dilakukan.

“Pipit..” Panggil sang Ibu dari dalam dapur

“Iya bu.” Jawab Pipit sambil keluar dari kamarnya

Bacaan Lainnya

“Tolong panggilkan Arjun, suruh kesini!” Suruh Ibu yang dilihatnya tengah membuat teh

“Siapa Arjun?”

“Anak buah Bapak, Dia ada di luar dengan yang lain.”

Tanpa bertanya seperti apa ciri orangnya, Pipit langsung keluar memanggil Arjun.

Banyak orang di teras rumah Pipit mereka semua adalah anak buah Bapaknya, Mereka pasti mau membagi uang hasil tangkapan Ikan tadi pagi. Pipit memandangi tiap wajah yang ada di teras rumahnya Bapak nya juga ada disana.

“Arjun.. Siapa Arjun?” Tanyanya, semua matapun tertuju padanya

“Siapa yang bernama Arjun?’ Tanyanya lagi

“Saya Mbak!” Jawab seorang Pria yang duduk dipaling pojok dengan kaos hitam oblong mengacungkan tangannya, karena Dialah pemilik nama tersebut.

“Ibu memanggilmu.”

 Dengan tanpa basa basi Arjun mengikuti langkah Pipit masuk ke dalam menemui Ibunya.

Pipit melihat Arjun membawa Teko teh buatan Ibunya dengan beberapa cangkir untuk para tamu Bapaknya.

“Dia anak baru ya Bu?”

“Iya, baru juga dua bulan.”

“Makanya Pipit koq gak pernah lihat.”

“Selama ini Kamu kan ada di Surabaya, ya mana mungkin tahu.”

 Ya, Baru kemarin sore Pipit sampai di rumah, Dia memang tengah kuliah di Surabaya dan selama Satu bulan ini Dia libur dan akan menghabiskan waktunya di rumah, maklum anak Jurangan rasanya  gak enak kalau gak kuliah keluar kota katanya.

“Emang Arjun asli mana bu, kayaknya koq gak asli sini?”

“Asli Madura, Dia merantau ke sini.’

“Madura? Berarti satu kampung dong sama Danang?”

“Ada apa koq manggil nama Saya?’ Tanya seorang pria yang tiba tiba muncul dari balik pintu dapur

“Eh, Danang ada apa?” Tanya Ibu

“Itu bu,sebagian  Bapak Bapak minta dibuatkan kopi, gak suka teh.”

“Oh iya Ibu sampai lupa, Pipit tolong buatkan kopinya ya.” Pinta Ibu karena dari tadi beliau sibuk mengaduk aduk masakannya.

“Ih.. Anak manja mana bisa buat kopi bu.” Celetuk Danang menggoda Pipit.

“Kamu jangan ngejek ya, Aku mah ahli dalam bikin kopi, dulu Aku sering buatin Bapak.” Kata Pipit sambil beranjak dari tempatnya dan mengambil teko buat bikin kopi.

“Itu kan dulu waktu Kamu masih di sini, nah sekarang kan lebih banyak di kota pasti sudah lupa tuh cara buatnya.”

Pipit tak menggubris pernyataan itu,

“Danang, emang di Madura gak ada pekerjaan ya, ke sini koq bawa orang segala?” Tanya Pipit sambil mengaduk kopi buatannya.

“Maksud Kamu Arjun?”

“Iya siapa lagi? Emang ada orang lain yang Kamu ajak kesini selain Dia?”

“Aku kasihan aja sama Dia,  daripada di sana susah cari kerja, jadi Aku ajak aja Dia kesini.”

Pipit memberikan Kopi buatannya ke arah Danang dengan tiga cangkir gelas ditangannya.

“Boleh dicoba!”

Pipit menyodorkan kopi ke muka Danang, Danangpun menuangkan sedikit kopi ke dalam cangkir dan menyeruputnya.

“Hemmm.. Boleh juga. Nanti lulus kuliah buka warung kopi aja.”

“Enak aja Kau!” Kata Pipit menepuk pundak Danang, Danang ke luar dapur dengan cengingisan.

“Kak Rizky koq gak kelihatan sendiri bu?” Tanya Pipit yang memang dari tadi Kakaknya sendiri yang tak terlihat, semenjak kakaknya berumah tangga memang jarang sekali Dia datang kerumah walau hanya sekedar menjengguk Ibu Bapaknya, padahal rumahnya juga tidak jauh hanya terpaut beberapa rumah saja. Kakaknya akan datang jika ada perlu saja, pinjam uang misalnya maklumlah istrinya orang yang suka berfoya foya gak mau kalah sama gaya dari wali murid lain teman anaknya yang masih duduk dibangku Taman Kanak Kanak.

“Mungkin Dia tidur, maklum habis jaga perahu semalaman pasti capek.” Jelas sang Ibu

***

Siang yang begitu panas terasa sampai ke ubun ubun, namun para nelayan desa pesisir ini begitu semangat dalam mencari rezeki, Mereka tak begitu gentar dengan sengatan mentari melangkah menuju pelabuhan di mana kapal mereka terparkir tanpa menggunakan alas kaki.

 Pipit mengamati gerak gerik anak perantauan itu Arjun, Ia begitu semangat menjahit jaring ikan yang sobek bersama para nelayan lain, karena dari tadi Pipit membantu ibunya membawakan beberapa bungkus nasi dan camilan untuk dimakan para nelayan di tengah lautan sambil menunggu kapal itu berlayar.

 Sang Kapten kapal Danang mulai memberi aba aba, si tukang mesin Rizky menghidupkan mesinnya, tali yang terikat mulai terulurkan  pelan pelan kapal itu mulai keluar dari pelabuhan dan berlayar menuju cakrawala senja, Pipit masih berdiri di sana memandangi kapal yang perlahan ditelan oleh senja.

”Semoga besok dapat ikan yang banyak ya pak!” Kata Ibu kepada suaminya saat sampai di rumah

“Aamiin bu!” Jawab sang juragan mengamini, berharap besok rejeki akan menghampirinya lagi seperti tadi pagi.

***

 “Pipit, bangun jangan lupa nanti nyusul Ibu ya di TPI.” Seru sang Ibu membangunkan anak perempuannya, Pipit membuka matanya meraih smartphone di sampingnya melihat jam yang tertera di sana. Pukul 03:00 pagi.

“Baru juga jam segini  Bu..” Kata Pipit malas sambil menarik selimutnya kembali

“Para nelayan sudah banyak yang datang, Ibu takut kalau perahu Bapak juga sudah datang jadi Ibu mau kesana sekarang, nanti kalau sudah pagi Kamu kesana.”

“Iya!” jawab Pipit dalam balutan selimut yang menutupi seluruh badannya.

 Pipit melangkah menghampiri Ibunya di tengah kerumunan Ibu Ibu, jelas perahu Bapaknya memang sudah datang namun hari ini pendapatan para nelayan agak sepi dibanding hari hari sebelumnya.

“Nanti masih nelayan lagi  gak?” Tanya Ibu kepada salah satu ABKnya yang membawa ikan ke tengah pelelangan.

“Enggak tahu Bu.” Jawab AKB tersebut lalu kembali ke perahu.

“Bu, Pipit pulang dulu ya!”

Ibu menatap anaknya yang sedari tadi gelisah risih dengan suasana.

“Sebentar, Ibu ambilkan ikan dulu buat mbah Surti!” Kata Ibu, lalu melangkah untuk meminta kresek hitam pada salah satu penjual ikan di sana. Pipit mengamati tingkah Ibunya itu mulai dari meminta kresek, mengambil ikan di salah satu wadah Ikan sampai kembali ke hadapannya dan memberikan Ikan tersebut. Ketika membawa Ikan pemberian Ibunya dan hendak pulang kejadian tak terduga terjadi pada Pipit, saat menghindari keranjang ikan di tengah pelelangan kakinya terpeleset dan untung Ia tak jatuh ke lantai seseorang menarik tangannya dan menyanggah tubuhnya. Wajah yang tidak asing bagi Pipit siapa orang yang ada dihadapannya dan dengan lancang mendekap tubuhnya siapa lagi kalau bukan si anak perantauan yang baru beberapa minggu tinggal di desanya Arjun.

 Arjun segera minta maaf dan menata kembali posisi Pipit dengan sempurna setelah beberapa menit mereka saling pandang.

“Maaf mbak!” Kata Arjun menundukkan kepala. Pipit tak menjawab Ia lanjutkan langkahnya dengan menerjang semua orang yang ada di hadapannya termasuk para nelayan lain yang ada di sana toh bajunya juga sudah bahu amis gara gara tubuh  Arjun, jadi tak masalah jika dia harus bersenggolan dengan para nelayan lain di tengah tempat pelelangan ikan.

  Pipit membolak balikkan posisi tidurnya, nampaknya kejadian tadi pagi membuatnya resah dan gelisah tak bisa tidur wajah Arjun selalu membayanginya. Tanpa sadar bibirnya melengkungkan sebuah senyum.

Pos terkait